Monday, December 29, 2014

Bung Karno menyelamatkan cacing yang kepanasan

Di tengah sengatan matahari pagi, cacing itu merayap di atas jalan berusaha mencari tanah yang lebih basah. Cacing itu hampir saja terinjak oleh Presiden Sukarno yang sedang 'blusukan' ke sejumlah perkampungan dan persawahan di daerah Yogyakarta akhir 1946 lalu.

Bung Karno yang pagi itu ditemani Ibu Negara Fatmawati memerintahkan satu pengawal mengambil cacing tersebut, dan memasukkan ke sawah. Sayang pengawal yang juga anggota polisi itu merasa jijik dengan cacing.

Bung Karno langsung memegang sendiri cacing itu dan memasukkannya ke sawah. Kemudian dia menghampiri sekumpulan petani yang tengah menanam padi. Dialog antara presiden pertama Indonesia dan rakyat itu pun berlangsung cair. Diselingi canda dan tawa. 

Kisah blusukan Bung Karno itu dikisahkan kembali oleh Mangil Martowidjojo, mantan Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden, dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. 


Menurut Mangil saat menjadi Presiden, Bung Karno sering blusukan. Berbincang dengan rakyat jelata, di kampung maupun di tengah sawah. Tak hanya di pedesaan, bahkan saat di Ibu Kota Jakarta, sang Proklamator itu juga gemar blusukan.

Suatu hari Bung Karno berkata pada Mangil, “Yo, Mangil. Bapak ingin keluar sebentar. Bapak ingin melihat umpyeke wong golek pangan di Jakarta (Bapak ingin melihat kesibukan orang mencari rejeki di Jakarta),” Mangil menulis dalam bukunya.


Pesan-pesan Bung Karno 

1. "Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia" .

2. "Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya". (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno).

3. "Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa."

4. "Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun".

5. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya." (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961).
 
6. "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

7. "Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka." (Pidato HUT Proklamasi 1963 Bung Karno).

8. "……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan……" (Bung Karno).

9. "Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali ". (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno).
 
10. "Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat." (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno).

Thursday, October 24, 2013

Letkol Untung Komandan Tjakrabirawa Tumbal G30 S PKI

'Soeharto yang rekomendasikan Untung masuk Tjakrabirawa'Nama Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa Letnan Kolonel Untung Sjamsuri dicatat dengan tinta merah dalam sejarah. Aksinya menculik tujuh jenderal di malam kelam 1 Oktober 1965 dikutuk. Akibat perbuatan Untung pula kelak Resimen Tjakrabirawa dibubarkan dan Soekarno dipreteli kekuasaannya oleh Jenderal Soeharto .

Tjakrabirawa adalah pasukan elite pengawal presiden dari empat angkatan. Seleksi masuk ke dalam resimen ini cukup berat. Tapi bukan Resimen yang melakukan seleksi ini, melainkan setiap angkatan.

Angkatan Darat memberikan pasukan dari Batalyon 454 Banteng Raiders, Angkatan Laut dari Korps Komando Operasi, Angkatan Udara memberikan Pasukan Gerak Tjepat dan Kepolisian menyerahkan Resimen Pelopor.

Bagaimana Untung bisa masuk ke Tjakrabirawa?

"Untung itu direkomendasikan Soeharto . Dia dekat dengan Soeharto dan juga Yani (Ahmad Yani)," kata Wakil Komandan Batalyon Tjakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan, seperti yang dikutip pada saat wawancara dengan merdeka.com, di Jakarta, Jumat (27/9).

Versi Saelan, saat itu Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan dari Angkatan Darat kosong karena ditinggal oleh Letkol Ali Ebram yang dipromosikan ke bagian intelijen. Ali Ebram berasal dari pasukan elite Batalyon 454 Banteng Raiders di Semarang, Jawa Tengah. Maka penggantinya pun berasal dari Banteng Raiders. Saat itu Untung menjadi komandan batalyonnya. Saelan mengingat Untung ke Jakarta akhir tahun 1964 atau awal 1965.

Untung yang saat itu berpangkat Mayor bukan tentara sembarangan. Pria kelahiran Kebumen 3 Juli 1926 itu jago perang dengan banyak penghargaan.

Dalam operasi Mandala di Irian Barat, Untung meraih Bintang Sakti. Anugerah tertinggi untuk anggota militer. Prestasi itu hanya bisa disamai oleh Mayor Benny Moerdani dari Resimen Para Komando Angkatan Darat.

Nah, Soekarno dulu sempat kesengsem dengan Benny Moerdani. Tahun 1964, Benny seorang diri melerai tawuran berdarah antara RPKAD dan Tjakrabirawa dari KKO Angkatan Laut. Kabar soal keberanian Benny, sampai pula ke telinga Soekarno . Dia meminta Benny bergabung menjadi Komandan Tjakrabirawa. Tapi rupanya Benny tak minat.

Benny merasa jadi tentara itu harus bertempur, bukan menjadi pengawal. Maka pada Soekarno , Benny mengaku ingin menjadi komandan brigade. Artinya Benny ingin terus berkarir di pasukan, walau berat Soekarno merelakan Benny.

"Bung Karno memang lebih dulu mengenal Benny sehingga lebih dekat. Yang menikahkan Benny dulu juga Bung Karno," kata Saelan.

Karena Benny menolak, akhirnya Untung yang terpilih. Toh, prestasi Untung pun tak kalah dari Benny.

"Untung tentara sejati. Tubuhnya pendek dan berotot. Dia ikut bertempur bersama Yani melawan Permesta di Sumatera dan di Irian bersama Soeharto ," jelas Saelan.

Menurut Saelan, Untung memang pintar bertempur, sayang dia tak pintar politik. Saelan tak menduga kalau tiba-tiba Untung membawa anak buahnya menculik para jenderal. Untung tak pernah banyak bicara. Saelan mengingat hanya dua kali Untung berbicara dengan Soekarno, posisi Untung memang mengamankan ring luar.

"Saat melapor di awal penugasan dan saat Idul Fitri, itu dikumpulkan semua anggota Tjakrabirawa. Itu saja. Tidak benar kalau ada yang bilang Untung pernah melapor soal dewan jenderal pada Bung Karno," beber Saelan.

Betapa terkejutnya Saelan saat mendengar anggota Tjakrabirawa ikut terlibat penculikan para jenderal. Tapi semuanya sudah terlambat. Untung yang pendiam itu telah melangkah terlalu jauh.

Kedekatan Untung dengan Soeharto juga dituliskan oleh Mantan Wakil Perdana Menteri II Soebandrio. Keduanya sama-sama divonis mati dan ditahan di Rumah Tahanan Cimahi, Bandung. Saat itu Untung yakin vonis mati untuknya cuma sandiwara. Dia juga meyakini akan diselamatkan oleh Soeharto .

"Percayalah Pak Ban. Vonis untuk saya itu mungkin hanya sandiwara," kata Untung.

Tapi pertolongan dari sang sahabat tak kunjung datang. Untung ditembak di sebuah desa di Cimahi, akhir Maret 1966.

Justru Soebandrio yang akhirnya tak jadi divonis karena permintaan Ratu Elizabeth. Dulu Soebandrio sempat jadi Dubes RI di London.

Saturday, September 14, 2013

6 Keistimewaan Bung Karno Dimata Ajudan

November 1960, Mayor Korps Komando Angkatan Laut Bambang Widjanarko melapor untuk bertugas sebagai ajudan Presiden Soekarno . Awalnya Bambang meminta hanya menjadi ajudan selama tiga tahun.

Saat itu Bambang merasa lebih nyaman bertugas sebagai pasukan tempur daripada ajudan. Tapi rupanya sejarah berkata lain. Bambang mendampingi Soekarno nyaris selama delapan tahun.
Dia menjadi ajudan Soekarno di puncak kekuasaan hingga kejatuhan sang pemimpin besar revolusi ini.

"Dari pengalaman saya selama berada di dekat Bung Karno selama delapan tahun, saya dapat mengatakan bahwa semua orang yang pernah bekerja secara langsung di bawah Bung Karno atau di dekatnya, pasti mencintai Bung Karno setulus hati. Hal ini terutama karena sikap Bung Karno yang hidup sederhana dan merakyat," ujar perwira Marinir TNI AL ini.

Berikut beberapa hal yang membuat Bambang Widjanarko terkesan selama menjadi ajudan Soekarno . Bambang menuliskannya dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno ' yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2010.

1. Orator besar

Presiden RI pertama Soekarno menjelma menjadi singa podium saat berpidato. Audiens dibuat terpukau mendengarkan pidato Soekarno walaupun panjangnya berjam-jam.

Tak seorang pun menjadi bosan bila mendengarkan pidatonya. Bung Karno memang menguasai psikologi massa. Ditambah dengan keahliannya berbicara dan pengetahuannya yang amat luas, memang tak salah jika ia disebut singa mimbar tanpa tandingan, ujar ajudan Soekarno Bambang Widjanarko.

Karena itu pula, Bambang menderita sakit pada saraf belakang. Dia terlalu lama berdiri tegak dalam sikap sempurna.

Wajar saja, sebagai perwira TNI ajudan presiden, Bambang dituntut selalu berdiri tegak jika Soekarno berpidato. Tapi dengan bijak Soekarno mengakalinya. Dia punya cara khusus agar Bambang tak selalu harus bersikap tegak.

Seperti saat berpidato di Merauke setelah Irian Jaya berhasil direbut, Soekarno berpidato di depan masyarakat Papua.

Inilah ajudan saya, Kolonel Bambang Wijanarko, dan dia beragama Kristen Katolik, sama dengan saudara-saudara sekalian, teriak Soekarno.

Bambang pun bisa sedikit bergerak dan tersenyum menyapa audiens. Dia tahu itu strategi Soekarno agar dirinya bisa sedikit mengendurkan sikap sempurnanya.

Bung Karno memang orator besar, puji Bambang.

2. Ringan tangan membantu

Presiden Soekarno dikenal selalu siap menolong siapa pun. Bahkan menjadi wali nikah rakyat biasa pun Soekarno bersedia.

Ada seorang pramugari garuda yang cantik. Suatu hari dia menghadap Bung Karno yang sedang minum kopi di istana. Sebut saja namanya, D, kata Bambang.
D berbicara empat mata dengan Soekarno . Baru setelah itu Soekarno memanggil Bambang, dia menceritakan pembicaraan tadi. Rupanya pramugari itu akan menikah dengan pria pilihan hatinya, seorang perwira ABRI.

Sayangnya orang tua gadis itu berada jauh sehingga tidak bisa hadir. D pun meminta Soekarno agar bersedia menjadi wali. Soekarno menerima permintaan itu dengan senang hati.
Mbang, D ini mau menikah, tapi orang tuanya tidak ada. Dia meminta aku menjadi walinya. Minggu depan kita laksanakan akad nikah di Istana dan malamnya kita adakan pesta sekadarnya di Istana Bogor. Kamu bantu ya Mbang? kata Soekarno .

Bambang mengingat antara 1961-1965, Soekarno tiga kali menikahkan pasangan seperti ini. Dia mau menjadi wali pengantin wanita. Padahal yang menikah bukan anak pejabat, atau anak orang terkenal. Bukan pula keluarga Soekarno. Mereka rakyat biasa saja.

4. Jagoan soal wanita

Mantan Ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko menceritakan Soekarno memang jagoan soal wanita. Kharisma Soekarno ditambah intelektualitas yang tinggi, membuat wanita-wanita bertekuk lutut.

BK (Bung Karno) benar-benar dapat disebut jagoan. Terhadap setiap wanita yang sedang dihadapinya, dia selalu dapat mencurahkan perhatiannya kepada wanita itu. Sehingga wanita tersebut merasa bahwa dia satu-satunya wanita yang paling dicintai atau dihargai BK, tulis Bambang Widjanarko.

Selain itu, Soekarno juga selalu bersikap gallant atau sopan dan hangat pada setiap wanita. Tak peduli wanita itu tua atau muda. Soekarno tak segan-segan mengambilkan minum sendiri untuk tamu wanitanya.
Soekarno juga selalu membantu memegang tangan wanita, jika wanita itu keluar mobil. Dia juga mengumbar pujian pada wanita. Hal ini yang selalu membuat para wanita tersanjung.

Pujian seperti Alangkah serasinya kain kebaya yang anda pakai, atau Nyonya kelihatan lebih muda dengan tatanan rambut baru itu, sering terdengar.

Maka dalam berbagai kunjungan di Eropa dan Amerika, Soekarno sering sekali mendapat pujian dari para wanita. Mulai dari politikus wanita, hingga artis sekelas Marilyn Monroe.
Your President is real gentleman, ujar Bambang menirukan pujian para wanita itu.

5. Tak mau diremehkan Amerika

Soekarno pernah tersinggung dengan Presiden Eisenhower yang sombong. Eisenhower menganggap remeh Soekarno yang dianggapnya datang dari negara dunia ketiga.
Dibiarkannya Soekarno menunggu di Gedung Putih hampir setengah jam lamanya. Amarah Soekarno pun meledak. Dia tidak sudi diremehkan, bahkan oleh presiden negara adidaya sekalipun.
 
Apakah kalian memang bermaksud menghina saya. Sekarang juga saya pergi, ujar Soekarno dengan marah.
Para pejabat AS pun kebingungan. Mereka sibuk meminta maaf dan meminta Soekarno tinggal. Eisenhower pun segera keluar menemui Soekarno.
 
Pada pertemuan berikutnya, Eisenhower menjadi lebih ramah. Dia sadar Soekarno tak bisa diremehkan.
Bambang mengingat Soekarno adalah negarawan besar. Sahabatnya sangat banyak di luar negeri.

6. Selalu egaliter

Selama delapan tahun mendampingi Soekarno, Bambang mengingat kebiasaan makan dan minum proklamator itu. Pada pagi hari Soekarno selalu minum kopi. Untuk makannya, hanya roti yang diolesi sedikit mentega dan gula.

Nah, saat minum kopi pagi di Istana inilah yang selalu seru. Soekarno selalu mengajak seluruh ajudan, pegawai istana maupun sarapan bersama. Sangat egaliter.

Suasana penuh canda tawa selalu terjadi di Istana setiap pagi. Tak ada batas antara Presiden dan para bawahannya.

Kadang waktu minum kopi pagi ini juga dimanfaatkan Soekarno untuk berdiskusi dengan para menteri dan pejabat mendiskusikan masalah negara.

Bambang mengingat Soekarno juga sangat memperhatikan sopir dan pegawai istana. Soekarno selalu bertanya apa sopir sudah beristirahat cukup.




Thursday, June 27, 2013

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi bangsa

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.[2] Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.[3] Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[6] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.
 

Masa lalu sebagai bahasa Melayu

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[15]
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
(sumber: wikipedia.org)
 
 

Saturday, June 22, 2013

Bung Karno: Bahasa Dalam Penyampaian Politik

Bung Karno di Jaman Jepang 1942, Sudah Menggunakan Bahasa Indonesia dalam tiap pidato politiknya (Sumber Photo : Antara)
1348888858360573208Pada awalnya Bung Karno terpesona dengan pidato politik saat diajak HOS Tjokroaminoto di tahun 1915 ke Solo dan melihat sendiri Pak Tjokro berpidato dengan gaya yang brengas, tegas dan keras. Pak Tjokro saat itu berpidato dengan bahasa Melayu Pasar. Di perkumpulan politik HBS Surabaya sendiri, Bung Karno dengan keras menghendaki penggunaan bahasa Djawa Ngoko sebagai bahasa Politik pergerakan.



Barulah pada tahun 1926, saat Bung Karno sering berdiskusi dengan Tjiptomangunkusumo di Bandung, Bung Karno tersadarkan dengan politik bahasa, saat itu dokter Tjipto bilang kepada Sukarno “Karno, sebuah bangsa itu tidak berdiri hanya sekedar sebagai bangsa, sebagai sebuah geopolitik, tapi sebuah bangsa itu berdiri dengan nyawanya, dengan jiwanya, dan pembahasaan atas nyawa bangsa itu ya, dengan bahasa …. kita tidak bisa lagi menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan intelektual, tidak pula kita mengenalkan bahasa kepada rakyat djelata dengan bahasa lokal, kita harus jadikan bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa Persatuan, kita disatukan oleh jaringan pasar yang berdiri di seluruh pulau-pulau Nusantara, oleh kerna itu, bahasa menjadi politik utama kita sekarang”.

Pada tahun 1927, Sukarno berbicara pada M Yamin, Maroeto, Soegondo Djojopuspito yang datang ke Djakarta, saat itu juga datang anak HBS Bandung, Soetan Sjahrir yang masih pakai celana pendek mengantar Yamin ke rumah Bung Karno. Disini Bung Karno mendeskripsikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Persatuan, Yamin jatuh cinta sekali dengan alam pemikiran Bung Karno, sebelum ia kemudian menemukan buku Naar de Republiek karangan Tan Malaka yang didapat Yamin dari toko buku Pasar Senen milik Darip.

Sejak rapat-rapat politik di Radicale Concentratie, Bung Karno terus berpidato dengan Bahasa Indonesia yang lancar, sejak saat itu bahasa Indonesia dikenal luas, karena hampir tiap waktu rakyat seluruh Nusantara dididik Sukarno dalam pidato-pidato politiknya dengan bahasa Indonesia.
Banyak analis-analis politik dan sejarawan menilai Bung Karno-lah orang yang paling bertanggung jawab terhadap penyebaran bahasa Indonesia dan sekarang hasilnya :
Orang Indonesia seharusnya bangga dengan bahasanya, karena:

1. Bahasa Indonesia menduduki peringkat 3 di Asia dan peringkat ke 26 di dunia dalam hal tata bahasa terumit di dunia.

2. Bahasa Indonesia juga mendunia di dunia maya, buktinya wikipedia berbahasa Indonesia telah menduduki peringkat 26 dari 250 wikipedia berbahasa asing di dunia dan peringkat 3 di Asia setelah bahasa Jepang dan Mandarin, selain itu Bahasa Indonesia menjadi bahasa ke 3 yang paling banyak digunakan dalam postingan blog di wordpress.

3. Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kedua di vietnam sejak tahun 2007

4. Bahasa Indonesia masuk kedalam 10 besar bahasa yang paling diminati di seluruh dunia.

Tapi ironisnya, pemerintah yang seharusnya melindungi Bahasa Indonesia, ternyata pemerintah juga lah yang mencederai Bahasa Indonesia itu sendiri.

SBY sekarang pidatopun menggunakan bahasa Indonesia yang belepotan, sudah seharusnya SBY ditegur oleh DPR untuk berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sukarno memang sering menggunakan bahasa Belanda, tapi itu hanya Quotes, atau kutipan tidak dicampur-campur dalam struktur kalimatnya.

Bila Sukarno bapak bagi penyebaran bahasa Indonesia maka SBY adalah perusak bahasa Indonesia.
di cuplik dari -Anton DH Nugrahanto-.

Sunday, April 29, 2012

Bung Karno dan Para Isteri

Jakarta, 7 Juni 2001 00:12

Rumah bercat hijau di Jalan Bonang 62, Jakarta Pusat, cukup unik. Di tembok terasnya tertulis ''Srihana-Srihani''. Tulisan itu cukup mencolok, berwarna kuning keemasan setinggi 40 sentimeter. Setiap orang yang melintas di depan rumah itu selalu menduga, Srihana-Srihani adalah nama pemilik rumah. Padahal, si  empunya rumah bernama Hartini, janda mantan Presiden Soekarno, atau Bung Karno (BK).

Srihana-Srihani adalah nama samaran ketika BK berkirim surat dengan Hartini. Srihana nama samaran BK, sementara Srihani untuk Hartini. ''Ah, itu kenangan lama. Tapi, saya suka nama samaran pemberian Bapak,'' katanya mengenang. Seperti apa isi surat-surat itu? ''Itu urusan pribadi, tapi Bapak selalu menulis yang indah-indah,'' Hartini menambahkan.

Soal surat-menyurat, BK sangat pintar memanjakan istri-istrinya dengan kata-kata puitis. Seperti surat-suratnya pada Yurike Sanger. Lihat saja cuplikan surat untuk Yurike saat BK tak bisa mengunjunginya.

Dear darling Yury,
Today I cannot come.
I'm so busy, that
I cannot find time to
see you. But I do
see you in my heart.
Take good care of yourself

Gaya puitisnya ternyata menular juga ke Fatmawati. Saat BK meninggal pada 21 Juni 1970, Fatmawati tidak hadir melepas kepergian suaminya. Namun, ia mengirim karangan bunga bertuliskan: ''Tjintamu jang selalu mendjiwai rakjat. Tjinta Fat.'

Makna pandangan pertama BK tak dapat ditebak. Sekadar perhatian, atau menanamkan simpati bagi perempuan yang kelak diperistrinya. Kadang-kadang, ia melakukan hal yang tak terduga. Saat Fatmawati minta pendapat pada BK tentang pinangan anak wedana terhadapnya, BK malah menjawab pinangan itu untuk dirinya sendiri. BK minta Fatmawati menolak pinangan itu, dan menjanjikan waktu enam bulan untuk ''menyelesaikan urusan'' dengan Inggit Ganarsih, istri pertamanya.

Hartini merasa, perhatian BK natural, tidak dibuat-buat, saat pertama kali ia bertemu dengannya di Salatiga. Ketika bersalaman, BK bertanya: rumahnya di mana, anaknya berapa, suaminya siapa. Setelah pertemuan itu, datang sepucuk surat untuk Hartini. Lewat surat-menyurat itulah, hati mereka bertaut.

Yurike Sanger tak menduga saat orang nomor satu di Indonesia kala itu menghampirinya ketika ia menjadi anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Barisan pemuda-pemudi berpakaian daerah sebagai pagar betis, saat Presiden Soekarno ada acara resmi dengan tamu negara.

BK menghentikan langkahnya di depan Yurike saat berjalan menuju mobilnya. ''Siapa namamu?'' ''Yurike, Pak,'' jawabnya sambil tergagap. Sebelum BK pergi, ia sempat berpesan: Yurike tak boleh memakai nama berakhiran ''ke'' atau ''ce''. ''Pakai Yuri saja, ya,'' pesan BK. Pandangan pertama dan perhatian sangat manusiawi yang dilakukan BK itu membuat Yurike takluk ketika BK meminangnya.

Banyak hal yang membuat para istri dan mantan istri BK menilai BK adalah suami dan bapak yang bertanggung jawab. Sikapnya penuh perhatian, telaten, dan tak pilih kasih. ''Bapak telaten dan penuh perhatian pada semua istrinya. Kita ndak dibeda-bedakan,'' kata Hartini. Setiap Jumat sampai Minggu, BK menyempatkan diri berkunjung ke Bogor, tempat Hartini dan kedua anaknya tinggal di pavilyun Istana Bogor.

''Ia tahu dan menghormati kewajibannya,'' kata Yurike. Meskipun, hal itu kadang menjengkelkannya. Maklum, BK punya kebiasaan harus kembali ke Istana Merdeka pagi-pagi sekali, sehabis menginap di rumahnya, di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Kadang-kadang, BK pergi dengan tergesa dan tak sempat cuci muka.

Semua itu dilakukan agar di mata anak-anaknya, BK tetap menjadi seorang bapak yang penuh perhatian. ''Bung Karno harus mencium anak-anaknya satu per satu sebelum mereka berangkat ke sekolah. Mengecek pekerjaan rumah dan memeriksanya dengan teliti,'' tutur Yurike.

Untuk urusan sekolah anak-anak, BK selalu turun tangan. ''Semua rapor anak-anak, Bapak sendiri yang neken,'' kata Hartini. Bukan itu saja, jika ada pelajaran yang jelek nilainya, BK turun tangan memberikan penjelasan langsung.

Tanggung jawabnya yang tinggi itu membuat semua istri dan mantan istri BK menaruh hormat kepada sang suami. Dalam sejarah hidup BK, ada delapan wanita yang pernah menjadi istrinya.

Ketika masih mahasiswa, BK dijodohkan dengan Utari, putri pendiri Sarekat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto. Saat itu, BK mondok di rumah Haji Sanusi, yang kebetulan aktivis SI, di Bandung.

Dalam perjalanannya, hubungan mereka lebih sebagai kakak beradik. BK justru lebih dekat dengan Inggit Ganarsih, istri Haji Sanusi. Jalinan hubungan itu makin serius, yang mendorong mereka berterus terang kepada Haji Sanusi dan Tjokroaminoto.

Utari akhirnya dikembalikan kepada orangtuanya oleh BK, dalam keadaan masih gadis. Sementara itu, Inggit --yang lebih tua 12 tahun dari BK-- dinikahi setelah masa idah cerainya dari Haji Sanusi selesai, pada 1923.

Biaya studi Kusno --begitu panggilan Inggit terhadap BK-- setelah menikah dengan Inggit, ditanggung Inggit sampai ia mendapat gelar insinyur pada 1926. Inggit berperan besar dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan BK.

Saat BK dipenjarakan di Sukamiskin, karena kegiatan politik, Inggit setia menemani dan menunggu sampai masa hukumannya habis. Karena hanya dia yang boleh menjenguk BK di penjara, otomatis Inggit yang menjadi penghubung antara suaminya dan para pejuang lain, secara sembunyi-sembunyi.

Untuk menulis pesan BK, Inggit menggunakan kertas rokok lintingan. Ketika itu, Inggit memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah hanya dijual kepada para pejuang, di dalamnya berisi pesan-pesan BK.

Hal yang sama juga dilakukan saat BK diasingkan di Ende, Flores (1934), hingga ia dipindah ke Bengkulu (1938). Inggit bisa membesarkan hati BK, memberikan dorongan semangat, membagi suka-duka. Tak mengherankan jika di depan peserta Kongres Indonesia Raya di Surabaya (1932), Soekarno menjuluki Inggit sebagai ''Srikandi Indonesia''.

Meski pernikahan Inggit dengan BK tidak diakaruniai anak, mereka memiliki dua anak angkat: Ratna Djuami dan Kartika. Inggit akhirnya diceraikan BK pada 1942. Alasannya, ia tak mau dimadu, ketika Soekarno mengajukan permohonan menikah dengan Fatimah alias Fatmawati.

Fatmawati adalah anak tunggal pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah, yang saat di Bengkulu mondok di rumah BK. Usianya masih 15 tahun, dan menjadi teman sekolah kedua anak angkat BK dan Inggit di sekolah Katolik, Rooms-Katholik Vakschool.

Alasan ketertarikan BK pada Fatmawati, salah satunya, adalah ingin mendapatkan keturunan setelah 18 tahun menikah tidak dikaruniai putra. Fatmawati menyetujuinya asalkan tidak dimadu. Bahkan, ia akan menerima BK jika sudah menceraikan Inggit secara baik-baik.

Untuk urusan itu, BK meminta pendapat dari rekan seperjuangannya, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur. Pada 1943, BK menikah dengan Fatmawati secara wali. Saat itu, usia Fatmawati 19 tahun, dan Soekarno 41 tahun. Nama Fatmawati adalah pemberian BK, yang berarti bunga teratai.

Fatmawati banyak menenami BK sejak menjelang proklamasi kemerdekaan. Ketika BK dan Bung Hatta diculik ke Rengasdengklok, ia menyertainya bersama Guntur yang masih bayi. Di masa kemerdekaan, Fatmawati menjadi ibu negara. Setelah pengakuan kedaulatan RI, keluarga BK tinggal di Jakarta, menempati Istana Merdeka. Dari pernikahan itu, terlahir lima anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Kisah Hartini yang dinikahi BK pada Januari 1952 agak berbeda dari istri sebelumnya. Ia bersedia dimadu. Hartini memutuskan menikah dengan BK setelah mendapat restu dari kedua orangtuanya. ''Kata orangtua saya, dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden,'' kata Hartini menirukan nasihat orangtuanya.

Sebelum dinikahi, Hartini mengajukan syarat agar Ibu Fatmawati tidak diceraikan dan tetap menjadi first lady. ''Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita,'' kata Hartini, yang melahirkan dua anak dari BK: Taufan (almarhum) dan Bayu.

Ratna Dewi Soekarno, atau Dewi Soekarno, 61 tahun, dikenalkan pada BK karena adanya latar politik bisnis. Pertemuan terjadi pada Juni 1959, ketika Bung Karno mengunjungi kelab malam Copacabana di Tokyo. Dewi, nama aslinya Naoko Nemoto, bekerja sebagai penyanyi di kelab malam tersebut. Saat itu usianya masih 19 tahun. Ia menyanyikan Bengawan Solo saat menyambut BK.

Dengan dicomblangi Masao Kubo, Direktur Utama Tonichi Inc, hubungan mereka berlanjut sampai ke pelaminan, 3 Maret 1962. Berkat peran Dewi itulah, Tonichi mendapat banyak proyek dari Pemerintah RI.

Kehadiran Dewi mampu menyisihkan Sakiko Kanase, yang lebih dulu diperkenalkan kepada BK oleh perusahaan Kinoshita. Sakiko, yang sempat masuk Islam dan berganti nama menjadi Saliku Maisaroh, kecewa dan bunuh diri, tiga minggu setelah Dewi menikah dengan BK.

Dewi, yang belakangan pernah menghebohkan dengan buku Madamme D'Syuga, pada awalnya kurang mendapat simpati di kalangan putra-putri BK. Guntur, misalnya, memelesetkan nama Dewi menjadi ''Deweh''. Dan ia menjuluki istri-istri BK, selain Fatmawati, sebagai ''hinul-hinul markindul''.

Di sisi lain, Dewi sangat berbakat di bidang politik. Dialah yang merekatkan hubungan BK yang retak dengan militer pasca-G-30-S/PKI. Dewi berupaya mengakrabkan kembali Soekarno dengan Jenderal Soeharto, dan Jenderal Nasution. Dengan BK, Dewi dianugerahi satu putri, Kartika Sari Dewi Soekarno.

Pernikahan BK dengan Haryati tidak banyak terekspose. Ia tidak begitu menonjol dibandingkan dengan istri-istri BK lainnya. Pada 1980-an, namanya mencuat saat berperkara soal tanah hadiah dari BK di Jalan Comal, Surabaya. Atau, saat ia kehilangan kancing-kancing baju dan sekaligus beberapa baju peninggalan BK. Setelah bercerai dengan BK, Haryati menikah dengan Sakri. Dari pernikahannya dengan BK, ia dikaruniai satu putri, Ayu Gembirowati.

Yurike Sanger, atau Yuri, adalah istri terakhir dan termuda BK. Saat dinikahi, usianya baru sweet seventeen, dan masih kelas II SMA. Anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu pada dasarnya seorang yang minder dan pemalu. Ia justru menjadi percaya diri setelah sering diajak ngobrol oleh BK. ''Hanya orang minder sajalah yang tidak berani menghadapi, dan melarikan diri dari persoalan yang menghadangnya,'' kata Yurike menirukan pesan BK.

''Kalau saya tidak menerima tawaran Ibu Lia untuk menjadi Barisan Bhinneka Tunggal Ika, tak mungkin saya bisa bertemu dan hidup bersama dengan Bung Karno,'' tuturnya. Yuri mengaku cepat dewasa dalam berpikir, karena BK banyak mengajari berbagai hal, termasuk bagaimana harus menempatkan diri.

Sekarang, genap satu abad lahirnya Bung Karno. Rangkaian seremoni disiapkan untuk menggelar gawe besar itu. Hartini, salah satu istri BK yang masih hidup, mengaku terharu mendengar akan digelarnya acara tersebut. ''Saya merasa terharu, dan senang,'' kata penggemar warna ''hijau botol'' itu. ''Saya ingat saat-saat terakhir Bapak. Dikucilkan. Hanya boleh ketemu sama keluarganya, dan dokter saja.''

Di usianya yang 77 tahun, Hartini kini menghabiskan waktunya dengan aktivitas yang ringan. ''Kegiatan saya sehari-hari, ya, ngebon (berkebun), ngaji, baca koran, menata rumah, arisan, kadang belanja. Itu saja. Nggak neko-neko (aneh-aneh).'' Hidupnya sangat sederhana. Sebagai janda presiden, ia mendapat tunjangan pensiun dari pemerintah. Jumlahnya? Ia tak mau menyebut angka. ''Ya, kalau jujur, tidak cukup untuk kebutuhan rumah tangga. Tapi, saya selalu berupaya agar bisa membayar rekening listrik, telepon, pembantu....''

Ketika ditanya tentang pengalamannya yang paling berkesan bersama BK, wanita yang tidak berkebaya sejak BK meninggal itu menuturkan, ''Selama mendampingi Bapak, seluruh hidup saya sangat berkesan. Makanya, saya sangat berterima kasih, Allah telah menunjuk saya mendampingi Bapak sampai akhir hayatnya,'' katanya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca.

[Dewi Sri Utami]
[Edisi Khusus Gatra Nomor 29 Beredar 4 Juni 2001]

Humor humor segar Bung Karno
(berdasarkan Cerita Guntur Soekarnoputra)
 
Dis, gimana kabarnya Istana? ... Ada hindul-hindul yang nyeludup masuk nggak?
+ Kayaknya sih nggak; pada ngeri kali ... gara-gara Mas labrak si Deweh (Deweh maksudnga Dewi) ... Eh, Gun tapinya ya, aku sekarang ini di Istana agak curiga sama satu orang deh ... Aku takut, jangan-jangan Bapak naksir nantinya kan hindul-hindul markindul bisa jadi nambah ...

Siapa yang tahu kalau Megawati Soekarnoputri, ternyata bernama panggilan Gadis atau Adis. Ibu Fatmawati sebagai first lady dan ibu lima anak, masih sering berkata-kata dengan dialek bahasa Melayu Bengkulu. Guntur yang dipanggil "Gun" sama Mega, atau bernama akrab Mas Tok, ternyata dipanggil "Jang’ alias Bujang oleh sang bunda. Uniknya, keluarga Soekarno ini ada kata sandi khusus untuk "buang air besar", yakni "o-ok".

Kalau "hindul-hindul markindul", merupakan kata sandi untuk isteri muda Soekarno, terutama gelar untuk Deweh alias Ratna Dewi gang hindul markindul asal Jepangnya Bung Karno. Hampir tiap peristiwa, Guntur berupaya mengenang kembali ingatannya, terutama masalah kutipan langsung pembicaraan sang bapak. Sebagai pemimpin besar bangsa Indonesia, Bung Karno terbaca amat piawai berkomunikasi dalam berbagai bahasa asing, juga berbahasa daerah. Selain berbahasa. Jawa, Soekarno senang memakai bahasa Sunda untuk berbicara dan mendamprat staf rumah tangga istana.
Misalnya dalam tulisan "Saro’i The Great", ada kata-kata Bung Karno kepada Saro’i - pengemudi keluarga Soekarno: "Nya! Geus dimaafkeun, umpama keur ngajar Guntur nubruk taneman Bapak jeung tembok istana make mobil! (Ya, sudah dimaafkan, misalnya waktu mengajar Guntur nabrak tanaman Bapak dan tembok istana)".

Kentuti PBB
Bung Kurno yang berhobi berat makan durian, tapi tak suka makan petai dan jengkol, karena kalau "ki'ih" (kencing-red) akan berbau. Namun Ir. Soekarno suka lugu klasik Italia. Khususnya kalau beranjangsana ke Italia, Soekarno selaku kepala negara RI tak segan ikut mementang suaranya melagukan "0 Sole Mio", bersama pelayan hotel. Sampai-sampai Guntur pun menjuluki bapaknya The Great Caruso.

Sebagai putra sulung, Guntur rupanya paling banyak sering mendapat kesempatan belajar langsung dari ayahnya. Apalagi selewatnya masa akil baliknya Guntur, si anak pertama ini tak cuma diindoktrinasikan soal paham negara RI yang anti barat sama neokolonialisme dan imperialisme, tapi juga soal "isme-isme" lainnya, termasuk wanita cantik.

Misalnya sekali waktu, Bung Karno berdiskusi soal wanita canfik di obyek lukisannya:
+ ... perhatikan sorot matanya ... belum lagi bentuk hidung dan bibirnya ... apa pernah lihat bentuk yang secantik ini ... potongannya bagaimana? Ini ia punya bentuk tubuh maksudku ... Ini figur puteri Solo asli! Pernah punya pacar orang Solo? ... Kalau mau cari pacar orang Solo, figurnya harus seperti ini ... baru namanya cantik ...
Memangnya dia siapa sih Pak?

+ Ho, ho rahasia ... Pendek kata cantik tidak? ... boleh bandingkan dengan pacar-pacarmu, kalau memang kau punya!

Si Mas Tok ini, menuturkan pula bagaimana dirinya tak jarang menjadi sekretaris istimewa, atau pelayannya perpustakaan kepresidenan. terutama di saat Soekarno sedang mepersiapkan pidato kenegaraannya. Sang Bapak selalu memanggil Mas Tok, seraya menyebut nama penulis atau judul buku, hingga Guntur harus pontang-panting menyiapkan buku referensi bagi bapak tercintanya.

Meja makan merupakan arena paling akrab untuk keluarga besar Soekarno. Seusai makan, keluarga presiden ini biasanya melahap bebuahan segar dan manis, terufama di musim rambutan dan durian. Untuk buah berduri ini, Guntur mengisahkan betapa bapaknya pernah mengajarkan teori memilih durian.

+ .Jadi Bapak ulangi! Satu! ... periksa tangkainya. Dua! ... lihat duri-durinya. Tiga! ... cium baunya dari sebelah pantat. Kalau ketiga-tiganya baik itu tandanya durennya jempolan! Nanti kau bisa buktikan setelah duren-durennya ini Bapak pilih ferlebih dahuiu ...

Yaaa Pak! Kok durennya bosooookk! Duiiillaaahhl Gimana sih Bapak milihnya?
+ Ndak tahulah! Sekali ini Bapak meleset pilih duren! Uh ... ini duren mungkin jenis baru ... Emangnga jenis apa Pak?

+ .Jenis duren ... kontra revolusi!

Tampak sekali, Presiden pertama RI yang di dunia internasional disegani, karena sikap dan ucapannya yang keras soal kolonialisme dan imperialisme, serta dinilai sebagai pemimpin besar yang gandrung akan persatuan dan kesatuan, serta getol menanamkan sikap patriotisme dan nasionalisme bagi rakyatnya.

Guntur sebagai "sparring partner" Bung Karno, tentu tak lepas dari persoalan beginian. Meski di hadapan anaknya, Soekarno memiliki cara dan gaya diskusi tersendiri. Tak jarang Bung Karno meledakkan emosinya, sambil melampiaskan juga perasaannya yang tak mungkin diumbar di muka umum. Sekali waktu (dalam judul "Penyelundup Senjata"), Bung Karno mengisahkan kepada Guntur, soal peranan RI dalam membantu kemerdekaan Aljazair, seusai acara makan duren.

+ Eh aku mau kasih tahu, kalau hari Sabtu jangan makan duren. Dus malam Minggu; pasti pacarmu nggak mau kau cium, karena kau bau duren ... ngerti?!

Kok Bapak kelihatannya seneng bener? Ada apa sih?

Lalu Soekarno menuturkan peranan RI, sambil menyebut berita ini "top secret" kelas A. Katanya, RI bukan cuma memberi dukungan diplomatik terhadap Aljazair, malah pernah membantu dengan mengelundupkan senapan.

Kalau waktu itu misalnya ketahuan gimana Pak? Dunia kan geger?

+ Ya biar saja geger, aku ndak rewes (ndak rewes = ndak peduli) ... Aku tidak feeerduliii! Buat Bapak kalau urusan membantu kemerdekaan satu bangsa, hanya satu yang bisa melarang ... Tuhan! Lain tidak! Tahu kau! (Bapak melotot kepadaku sambil memukul-mukul meja dengan tinjunya) ... Ayoooo ... mau apa! PBB mau kutak-kutik? Mau tahu akan aku apakan PBB? Tahu ndaaakk?! ... PBB Bapak akan beginikan ....

Tiba-tiba dari bawah meja terdengar suara ... duuuut ... duuut ... breeettt! Hiih! ... Bapak kentut ya!

+ Ya! ... aku akan kentuti PBB kalau mereka berani turut campur urusan orang rnerebut kemerdekaan!!

Thursday, April 12, 2012

Soekarno: Sejarah dan Perjuangan

Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 19451966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Bung Karno atau Soekarno adalah penggali Pancasila, konsep awal dasar negara.

Soekarno di berhetikan menjadi presiden tak lama setelah ia  menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 yang bernama Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.[1] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[1] Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

Masa kecil dan remaja Soekarno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.  Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.  Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam.  Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[baca disini] Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.

Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.  Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.  Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).[4] Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur.[4] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[4] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[4] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[4] Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.[4] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.[4] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[8]
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925.[9] Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[4] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Karya Soekarno di bidang Arsitektur
  • Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
  • Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid jami' di tengah kota.
Soekarno dan masa pergerakan nasional

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo.[4] Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.[9] Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929 dan dipenjara di Penjara Banceuy, pada tahun 1930 dipindahkan ke Sukamiskin dan memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat (pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa Penjajahan Penjajahan
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri. Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengas dengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.

Masa Perang Revolusi (pra kemerdekaan)
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby. Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis. Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.

Masa Kemerdekaan
Soekarno dan Josip Broz Tito
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Soekarno dan John F. Kennedy
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC)
 
Kejatuhan
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.[17][9] Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya.[9] Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.[17] Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).[5][17] Sikap Soekarno yang menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik.[9][5]. Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh Soekarno.[17] Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.  Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.  Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS.[17] Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni 1966.[5] MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.[17] Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.[18] Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya. 


Makam Bung Karno di Blitar

Masa Sakit hingga meninggal

foto terakhir presiden Soekarno.
Makam Presiden Soekarno di Blitar, Jawa Timur.
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.[18] Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.[18] Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.[18] Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.[18][4] Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.[18] Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.[18] Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.[18]
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:[18]
  1. Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
  2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
  3. Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.[18] Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.  Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.[18] Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.[18] Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.

Koleksi dan Peninggalan Soekarno
Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001, maka Kantor Filateli Jakarta menerbitkan perangko "100 Tahun Bung Karno".[8] Perangko yang diterbitkan merupakan empat buah perangko berlatarbelakang bendera Merah Putih serta menampilkan gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.[8] Perangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920an terpampang di atasnya. Sementara itu, perangko yang ketiga memiliki nominal Rp. 900 serta menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Perangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp. 1000. Keempat perangko tersebut dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri.[8] Selain perangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan perangko, album koleksi perangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.[8]  Perangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada tanggal 19 Juni 2008. Perangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.[19] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba.

Nama Soekarno pernah diabadikan sebagai nama sebuah gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru, komplek olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung Karno.[20]
Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan ini dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ketiga Soekarno dan Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan pemikiran Bung Karno, Nation and Character Building kepada mahasiswa-mahasiswanya.[21]
Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda seni maupun non-seni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.[22] Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra dan Kartika Sari Dewi Soekarno.[22] Pada tahun 2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.[8] Di stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat" yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden. Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cinderamata Soekarno dijual di stan tersebut.  Diantaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi pidato Soekarno serta kartu pos Soekarno.


Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan Soekarno.[8] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang.[8] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor.[8] Benda-benda tersebut antara lain adalah sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang terdaftar dalam register emas JM London, emas putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan ejaan lama berupa deposito hibah.[8] Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss dan Bank Netherland.[8] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian dari emas tersebut

Penghargaan yang diperoleh Soekarno
Semasa hidupnya, Soekarno mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam dan luar negeri.[24] Perguruan tinggi dalam negeri yang memberikan gelar kehormatan kepada Soekarno antara lain adalah Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin dan Institut Agama Islam Negeri Jakarta.[24] Sementara itu, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Rusia) dan Al-Azhar University (Mesir) merupakan beberapa universitas luar negeri yang menganugerahi Soekarno dengan gelar Doktor Honoris Causa.[24]
Pada bulan April 2005, Soekarno yang sudah meninggal selama 35 tahun mendapatkan penghargaan dari Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki.[8] Penghargaan tersebut adalah penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo yang diberikan dalam bentuk medali, pin, tongkat, dan lencana yang semuanya dilapisi emas.[8] Soekarno mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai telah mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan penjajahan dan membebaskan diri dari apartheid.[8] Acara penyerahan penghargaan tersebut dilaksanakan di Kantor Kepresidenan Union Buildings di Pretoria dan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri yang mewakili ayahnya dalam menerima penghargaan.
(sumber: wikipedia)

Pidato Lengkap Lahirnya Pancasila
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan didalam pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua jang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, jang diminta oleh Paduka tuan ketua jang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran jang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat jang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saja kemukakan, Paduka tuan Ketua jang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saja membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah jang saja artikan dengan perkataan “merdeka”. Merdeka buat saja ialah: “political indepence, politieke onafhankelijkheid. Apakah jang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saja berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saja, didalam hati saja banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota jang - saja katakan didalam bahasa asing, ma’afkan perkataan ini - “zwaarwichtig” akan perkara jang kecil-kecil. “Zwaarwichtig” sampai  - kata orang Jawa - ”njelimet”.  Djikalau sudah membicarakan hal jang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Tuan-tuan jang terhormat!  Lihatlah didalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara jang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara jang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Alangkah berbedanya isi itu!  Djikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saja bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, jang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.

Bacalah buku Armstrong jang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka! Lihatlah pula - djikalau tuan-tuan kehendaki contoh jang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik jang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku jang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu.Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P.T. Zimukyokutyoo!  Berdirilah saja punya bulu, kalau saja membaca tuan punya surat, jang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! 
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saja tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!  
(Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara! Apakah jang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saja telah menulis satu risalah, Risalah jang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saja katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu  jembatan emas. Saja katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam,  - in one night only! -,  kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian dari  pa-da itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang jang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.

Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprpros-toff, dam jang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, jang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka  telah  dapat mem-baca dan menulis? Tidak, tuan-tuan jang terhormat! Di seberang jembatan emas jang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saja minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - djikalau tuan-tuan demikian  -, dengan semangat pemuda-pemuda kita jang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saja, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, jang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh ta-hun jang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan riuh).

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati! Saudara-saudara, saja peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain  dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Djikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang jang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang jang bernama Abdul Halim. Djikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-o-rang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda jang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka,  se-karang!  Djikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke-rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak!  Tidak).

Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini  balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia jang Merdeka! (Tepuk tangan menggemparkan).
Saudara-saudara, tadi saja berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu jang  sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan ne-garanya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mem-pertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah jang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan jang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh).

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperban-dingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saja bandingkan dengan perkawinan. Ada jang berani kawin, lekas berani kawin, ada jang takut kawin. Ada jang berkata: Ah saja belum berani kawin, tunggu dulu gajih F 500. Kalau saja sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur jang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, su-dah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saja berani kawin. Ada orang lain jang berkata: saja sudah berani kawin kalau saja sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja-makan”, lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur. Ada orang jang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin.
Sang Ndoro jang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana jang lebih gelukkig, belum tentu mana jang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya jang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun jang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara! (Tepuk tangan, dan tertawa)

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian:  kita  ini berani merdeka atau tidak?  Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua jang mulia, ukuran saja jang terlebih dulu saja kemukakan sebelum saja bicarakan hal-hal jang mengenai dasarnya satu negara jang merdeka. Saja mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari jang lalu, tatkala menjawab apakah jang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia jang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saja ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).

Di dalam Indonesia merdeka itulah kita me-merdekakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud me-merdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan  hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.

Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Saja berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di da-lam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk meng-hilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau.  Di  dalam  Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam  Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baik-nya. Inilah maksud saja dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan  emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka jang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian!  Kita sekarang menghadapi satu saat jang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita?  Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara jang merdeka, tidak diadakan syarat jang neko-neko, jang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah jang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara jang lain, jang merdeka, inilah jang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - su-dahlah ia merdeka. Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal jang bukan-bukan! Sekali lagi saja bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak?   (Jawab hadiirin: Mau!)

Saudara-saudara! Sesudah saja bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saja bicarakan tentang hal dasar. Paduka tuan Ketua jang mulia! Saja mengerti apakah jang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta  dasar , minta  philosophische  grondslag,  atau,  djikalau kita boleh memakai perkataan jang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua jang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, diatas mana kita men-dirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri jang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri jang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung”, - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jer-mania jang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische, Historisch-materialistische Weltan-schaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu “Weltanschauung”, yaitu jang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tennoo Koodoo Seishin” inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah jang diminta oleh paduka tuan Ketua jang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, djikalau kita hendak mendirikan Indonesia jang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah la-ma harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja mati-matian untuk me”realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota jang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, - John Reed, di dalam kitabnya “Ten days that shook the world”, “sepuluh hari jang meng-goncangkan dunia” -, walaupun Lenin mendirikan So-viet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung”nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut ke-kuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas “Weltanschauung” jang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam re-volutie 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di “ge-nerale-repetitie-kan”.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa jang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschaung” itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” jang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah  pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922  beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula,  agar supaya Naziisme ini, “Weltanschauung” ini,  dapat menjelma dengan dia punya “Munschener Putsch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya jang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau diatas dasar “Weltanschauung” jang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?

Di dalam  tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka,  tetapi “Weltanschauung”nya telah dalam tahun 1885, kalau saja tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I,  - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, sosialisme,-  telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, jang  telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan,  - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” jang  kita semua setuju. Saja ka-takan lagi setuju! Jang saudara Yamin setujui, jang Ki Bagoes setujui, jang Ki Hajar setujui, jang sdr. Sanoesi setujui, jang sdr. Abikoesno setujui, jang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal jang kita  bersama- sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saja bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka jang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan jang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara jang bernama kaum kebangsaan jang disini, maupun saudara-saudara jang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan jang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan jang kaya, -tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran jang nanti akan saja kupas lagi. Maka, jang selalu mendengung di dalam saja punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun jang lebih, ialah: Dasar pertama, jang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar  kebangsaan

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia. Saja minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saja memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sajapun orang Islam. Tetapi saja minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham djikalau saja katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar  kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti jang sempit, tetapi saja menghendaki satu nasion ………., seperti jang saja katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa `pa` jang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat jang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-mojang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti jang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. Satu Nationale Staat!  Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saja di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saja uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah jang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka jang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia jang mau bersatu, jang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, disitu ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus chiksals gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai jang timbul karena persatuan nasib). Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota jang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun  sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, jang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi jang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi jang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu  tanah  air . Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta du-nia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana “kesatuan-kesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, djikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan jang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu  benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon jang mem-bentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “golf-breker” atau pengadang gelombang lautan Pacific, ada-lah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia jang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu di-taruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani jang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, a-dalah satu kesatuan.

Maka manakah jang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia jang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka djikalau saja ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi jang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensembles”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus schiksals gemeinschaft erwachsene Charakter gemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saja mengambil contoh Minangka-bau, diantara bangsa di Indonesia, jang paling ada “desir d’entre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, jang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini  merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan!  Penduduk Yogyapun adalah merasa “le desir d”etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang jang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” diatas daerah kecil se-perti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah se-luruh manusia-manusia jang, menurut geopolitik jang telah ditentukan oleh SWT, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Su-matra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre enemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 jang te-lah menjadi  satu,  satu, sekali lagi  satu! (Tepuk tangan hebat).

Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saja yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan jang tidak mu-fakat, baik Islam maupun golongan jang dinamakan “golongan kebangsaan”. Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, jang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat. Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita jang merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saja berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saja berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saja berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi jang telah membentuk kerajaan Bugis, saja berkata, bahwa tanah Bugis jang merdeka itu bukan nationale staat